7 Komentar

Sebuah Cermin dari Sunter Jaya

Sebuah fenomena langka terjadi di Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Betapa tidak, selama lima Ramadan terakhir ini, para warga Kompleks Perumahan Sunter Jaya, khususnya di RW 13, yang notabene warga nonmuslim mengumpulkan “zakat” untuk diserahkan kepada para mustahiq yang tinggal di beberapa perkampungan di sekitar kompleks tersebut. Jumlahnya pun cukup signifikan. Pada Ramadan tahun ini saja, terkumpul “zakat” sebesar Rp79.7950.000 dari 68 orang. Nah, dari 68 orang itu, hanya 6 orang yang muslim. Selanjutnya, dana sebesar itu disampaikan kepada para mustahiq dalam berbagai bentuk rupa mulai dari uang santunan, beras, hingga paket bahan kebutuhan pokok.

Fenomena menarik ini tidak terlepas dari peran Hendra Jafar, seorang muallaf keturunan Tionghoa yang menjadi Ketua Rukun Warga (RW) di lingkungan tersebut. Akhir Ramadan lalu, kepada MASJID, Hendra bertutur bahwa sesungguhnya ia enggan mempublikasikan aktivitas multidimensi di lingkungannya itu. “Khawatir dianggap riya’,” kata pria 53 tahun ini. Toh, akhirnya Hendra bisa menerima alasan bahwa uswah (teladan) yang baik harus disyiarkan demi kepentingan umat.

sunter1.jpg

Hendra pun mulai berkisah. “Sebenarnya semua ini bisa tercapai karena ada sinergi antara kami warga pendatang dengan para tokoh pemuka masyarakat asli,” ungkapnya membuka pembicaraan seraya meminta H. Maulana Mahdum untuk sesekali melengkapi kisahnya. Haji Maulana Mahdum, 59 tahun, atau lebih dikenal sebagai Haji Dudung merupakan tokoh sepuh Betawi Kemayoran-Sunter, yang juga merupakan pendiri dan Ketua Umum Persatuan Orang Betawi (POB). Duet yang harmonis antara kedua tokoh inilah, salah satunya, yang membuat berbagai kegiatan lingkungan yang melibatkan berbagai unsur warga bisa tercapai. Di satu sisi, sebagai Ketua RW sekaligus secara tradisional berlatar belakang Tionghoa, Hendra melakukan pendekatan secara personal kepada warga di lingkungan kompleks perumahan, yang sebagian besar beretnis Tionghoa dan nonmuslim. Di sisi lain, Haji Dudung membuka koridor pembauran bagi warga muslim di sekitar Sunter Jaya. Alhasil, sinergi apik antarkedua tokoh ini efektif membangun jembatan persaudaraan yang membumi antara warga muslim dan nonmuslim di Sunter Jaya.

Tak hanya di bulan Ramadan, aksi solidaritas pun dilakukan pada berbagai momen dan even, seperti ketika bencana tsunami menggulung daratan Aceh dan gempa bumi memporakporandakan bumi Yogya.

Apa yang dilakukan oleh Hendra dan Haji Dudung dalam membangun jembatan antara si kaya dan si miskin; muslim dan nonmuslim; jelas bukan perkara sederhana. Betapa tidak, ketika di berbagai lokasi terjadi benturan antara dua kelompok yang berbeda latar belakang itu, warga Sunter Jaya justru menampilkan sebuah uswah al-hasanah (tauladan yang baik) bagi umat.

Hendra dan Haji Dudung sadar bahwa solidaritas yang sudah dilakukan selama ini masih berdimensi filantropis. Namun, ada juga beberapa di antara warga kaya di RW-nya yang telah melakukan proses pemberdayaan kepada warga miskin di sekitar mereka. “Ada beberapa warga yang sudah menjadi bapak angkat bagi anak-anak yatim dan keluarga tidak mampu,” jelas Hendra.

Namun, duet Hendra dan Haji Dudung masih menyimpan sebuah cita-cita untuk membuat sebuah manajemen pemberdayaan warga miskin oleh warga kaya berbasis lingkungan. “Rencana itu sudah ada, semoga bisa segera kami wujudkan,” tambah Haji Dudung. Dalam mekanisme yang lebih terorganisir itu kelak santunan dari warga kaya akan diarahkan dalam bentuk pemberdayaan, misalnya untuk modal usaha dan biaya pendidikan anak-anak dari keluarga miskin.

Indonesia, alangkah semakin indahnya dirimu jika setiap lingkungan memiliki visi ilahiyah semacam ini.

7 comments on “Sebuah Cermin dari Sunter Jaya

  1. hebat dua orang ini….semoga sukses selalu dan menjadi contoh untuk semua lapisan masyarakat

  2. luar biasa ya Pak.H.Maulana Mahdum dengan Pak. H.Hendra Djafar semoga Amal Ibadahnya dilipat gandakan oleh Allah. SWT,terus berbuat & peduli buat lingkungan, kite siap dukung.

  3. Aku kira model seperti ini cocok untuk diteladani dibandingkan misalnya gerakan sejenis (lantaran cita2nya relatif sama) lewat lembaga tertentu yang justru menumbuhkan eksklusivitas dan memutuskan tali silaturahmi dengan keluarga sendiri. Maaf Mas Sofwan, komenku ini masih berkait dengan MAZ. Tapi, lembaga lain apa pun berpotensi sama kok. Jadi, menurutku, lebih pas yang model kayak duet tokoh dari Sunter ini. Wassalamualaikum.

  4. luar biasa, Kalau seandainya mereka jadi Caleg pada PEMILU 2009, maka mereka lah yang paling layak didukung dan dipilih menurut saya, karna sudah teruji dan terbukti telah berbuat untuk masyarakatnya, apakah mereka jadi Caleg mas Sofwan, trims.

  5. mantaf banget 🙂
    begini seharusnya masyarakat kita

  6. Allah Yarhamhu, Papa H Maulana M bin RH Keneng Muddatsir

Tinggalkan komentar