2 Komentar

Pengemis Bukan Untuk Dipelihara

Pengemis Bisa “Bergaji” 3 Jt Per Bulan

Fenomena pengemis di jalan raya, di bus kota, di kereta api atau peminta-minta dari kampung ke kampung yang mengharap belas kasihan dari pintu ke pintu sungguh merupakan budaya negatif yang harus segera ditamatkan dan diputus mata rantainya agar tak berkembang menjadi budaya baru yang berkembang pesat.

https://kalipaksi.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

Konon mereka yang berprofesi sebagai pengemis, ada yang ternyata hidup cukup di kampung halamannya. Betapa tidak, dalam sehari pendapatan mereka bisa mencapai rata-rata minimal Rp50 ribu sampai Rp75 ribu per hari per orang. Jika dalam satu keluarga, tiga orang menjadi pengemis, sudah berapa penghasilan perbulannya? Cukup berpakaian gembel, dekil, dan pasang tampang memelas penghasilan minimal Rp 1,5 juta per bulan sudah pasti di tangan.

Bahkan, menurut info beberapa pengemis di jalanan, penghasilan bersih seorang pengemis yang “kreatif” bisa mencapai sekitar Rp. 3 juta/bulan (sungguh suatu angka yang sangat fantastis untuk seorang pengemis, hampir sama dengan penghasilan orang berpendidikan tinggi yang kerja di kantoran) . Padahal secara fisik mereka tergolong layak bekerja, tidak buta atau berkaki buntung.


Menjadi pengemis, kini dijadikan semacam profesi oleh sebagian orang yang tergiur dengan pendapatan pasti tanpa harus berniaga atau bekerja kantoran. Bagi mereka, bekerja ya mengemis itu. Saat ini modus operandi mengemis pun sudah sangat beragam mulai dari cara yang paling konvensional hingga dengan mengekspolitasi keluguan anak-anak balita. Amat mudah menjumpai ibu-ibu yang menggendong ‘bayi sewaan’ mengemis di perempatan-perempatan jalan di Jakarta.

Menurut data yang dikeluarkan Dinas Pembinaan Mental dan Kesejahteraan Sosial (Bintal Kesos) Pemda DKI Jakarta, per Agustus 2003 lalu saja sudah diperkirakan terdapat 2.076 pengemis yang tersebar di seluruh Jakarta. Rinciannya, 1.183 pengemis dewasa, 747 pengemis anak dan 146 pengemis dewasa yang menggendong anak.

Bahkan sekarang, preman-preman pun mulai mengemis dengan alasan belum makan, baru keluar dari penjara hingga beralasan perlu ongkos untuk pulang kampung. Sudah begitu, pertambahan jumlah pengemis seperti pertumbuhan sistem sel saja.

Simak penuturan Surti, seorang pengemis jalanan asal Indramayu yang mengaku ke Jakarta sengaja untuk menjadi pengemis karena diajak teman sekampung yang telah terlebih dahulu menjalani profesi yang sama. Bayangkan jika tren itu terus berjalan berapa banyak pengemis-pengemis baru yang akan datang ke kota-kota besar.

Atas fenomena itu, berkembang tiga opini dan sikap di masyarakat. Pertama, opini bahwa pengemis harus dihilangkan dari jalan-jalan, bus kota dan tempat-tempat yang selama ini menjadi pos-pos strategis di mata para pengemis.

Kedua, pendapat yang memandang fenomena itu sebagai suatu yang wajar sebagai dampak dari kemiskinan yang selama ini semakin menggurita. Dan ketiga, mereka yang berdiri di pertengahan antara keduanya. Mereka yang berdiri pada sikap pertama khawatir jika profesi mengemis ditolerir jumlah orang yang memilih berprofesi sebagai pengemis akan terus bertambah, apalagi jika melihat tren Surti yang asal Indramayu tadi. Jika sudah demikian, dalam sudut pandang mereka, berarti mentolerir sikap malas dan antiberkarya. Mereka ini biasanya tak memberi uang kepada pengemis dengan alasan itu, bukan karena pelit. Mereka cenderung mendonasikan amal shadaqah kepada lembaga-lembaga pengumpul zakat atau langsung ke pintu orang yang memang benar-benar memerlukan bantuan tapi malu untuk menjadi pengemis karena prinsip agama yang sebenarnya tak mentolerir seorang untuk menjadi pengemis. Sementara itu, mereka yang berdiri pada sikap kedua mencoba bersikap positive thinking bahwa pengemis yang meminta-minta itu sebagai manusia yang diidentifikasi sebagai mereka yang betul-betul memerlukan bantuan—meskipun dalam kenyataannya tidak demikian.

Dan ketiga, mereka yang bersikap di pertengahan. Kelompok ini biasanya memilah pengemis menjadi dua: pengemis yang patut diberi dan pengemis yang tidak patut untuk diberi.

Terlepas dari sikap mana yang dipilih, siapapun pasti sepakat jika lingkungan kita bersih dari polusi peminta-minta. Sudah selayaknya simbol kemiskinan itu dihapuskan, apalagi jika simbol itu sudah disalahgunakan demi kepentingan sindikat-sindikat Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) yang memayungi aktivitas mereka.

Cara menghapusnya? Tentu tidak cukup dengan penertiban yang dilakukan oleh para petugas Dinas Bintal Kesos. Kelompok masyarakat yang berdiri pada opini pertama memberi solusi, jika seluruh orang sepakat dengan opini mereka untuk tak memberi uang kepada peminta-minta otomatis pendapatan profesi pengemis akan merosot tajam sehingga profesi sebagai pengemis perlahan-lahan akan ditinggalkan.

Jika ingin berderma langsung saja ke rumah si fakir yang betul-betul memerlukan bantuan. Lagi pula interaksi langsung antara si penderma dan penerima derma yang memang benar-benar memerlukan akan meninggalkan bekas mendalam. Mengetahui kondisi fakir miskin akan menimbulkan rasa syukur dan ikhlas dalam memberikan shadaqah.

Intinya pengemis bukan untuk dipelihara. Namun semua berpulang kepada sikap individu masing-masing untuk berdiri pada sikap pertama, kedua atau pertengahan di antara keduanya. Di sisi lain, negara yang dalam UUD disebut-sebut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya juga harus berpikir keras agar kemiskinan bisa terangkat dari siapapun yang menjadi warga negaranya, tidak lantas diam melihat pengemis-pengemis yang menjadi simbol kemiskinan menjamur di mana-mana. (by: sofwan ardyanto)

2 comments on “Pengemis Bukan Untuk Dipelihara

  1. Ini siapa yang buat sih? ukurannya berapa? dan dengan media apa yang digunakan?

  2. Debat tentang pengemis bukan untuk dipelihara

Tinggalkan komentar