2 Komentar

Mandor Jalan

mandor jalan

mandor jalan

Menyebalkan. Resah, bercampur prihatin. Mengapa ada lubang besar segede gajah ndak segera dibetulkan?

Apa sih susahnya?

Menggerutu memang mudah.  Terkadang perlu, tapi kadang-kadang tak diperlukan juga. Tapi yang jelas,  sebuah kemajuan justru bermula dari gerutuan yang pangkalnya rasa resah itu.

Begitu pula, tulisan ini lahir dari sebuah keresahan tentang tata cara pemeliharaan infrastruktur jalan, yang terkadang terkesan serampangan. Lantaran resah itu pula, saya jadi ingat cerita tentang “mandor jalan”, sebuah profesi yang pernah ada di negeri ini. Bahkan, sejak zaman kolonial dulu. Memang, konon masih ada daerah yang mempertahankan sistem mandor jalan untuk mengawasi infrastruktur jalan, terutama untuk mengatasi potensi jalan rusak. Anda pernah dengar profesi mandor jalan? Jika belum, izinkan saya menceritakan secuplik untuk Anda.

Jika anda mengikuti isu kebinamargaan (tentang jalan dan jembatan) di negeri ini, anda akan mendapati berita bahwa pemerintah akan segera menghidupkan kembali ‘mandor jalan’. Penyebabnya, apalagi jika bukan kerusakan infrastruktur jalan yang semakin tinggi. Bahkan, kabarnya parlemen sudah menyetujui hal ini. Coba simak rekomendasi Komisi V DPR-RI yang menyebut-nyebut soal mandor jalan ini:

“Komisi V DPR RI mengharapkan agar pemerintah meningkatkan alokasi anggaran bagi pemeliharaan jalan dan jembatan, antara lain dengan cara swakelola dan mengaktifkan kembali keberadaan mandor jalan.”

Bagi komunitas profesi bidang infrastruktur jalan, mandor jalan jelas bukan istilah baru. Bahkan, sistem mandor jalan ini sudah dikenal sejak era pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Salah satu mandor jalan era pemerintahan kolonial yang namanya sempat terabadikan dalam catatan sejarah di antaranya Jalil, yang oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi mandor jalan di Belitung atas jasa-jasanya membantu pemerintah kolonial membangun infrastruktur jalan yang menghubungkan beberapa distrik di Belitung.

Tugas para mandor jalan ini sederhana, tapi vital. Ujung tombak  pengawasan kondisi jalan ini  bertugas memonitor perkembangan kondisi jalan, menyampaikan laporan, dan menangani kerusakan-kerusakan kecil yang terjadi pada segmen jalan yang menjadi tanggung jawabnya.

Para mandor jalan inilah yang secara rutin melakukan patroli atau inspeksi jalan serta serta mengidentifikasi kerusakan sekecil apapun di wilayah kerja masing-masing. Tatkala menjumpai potensi kerusakan ringan, mereka berkewajiban segera melakukan perbaikan sesuai kapasitas mereka. Jika ternyata kerusakan yang terjadi di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya, para mandor jalan itu segera berkoordinasi dengan para bos  atau atasan mereka untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

“Prinsipnya, mereka bertugas mengantisipasi setiap kerusakan ringan agar segera diperbaiki sebelum berkembang menjadi rusak berat,” kata Pak Menteri PU.

Sungguh, tampaknya kok ideal sekali ya jika sistem mandor jalan ini hidup dan berfungsi. Pasti ruas-ruas jalan yang ada bisa lebih terawat. Idealnya memang begitu. Tapi, ya bergantung pada mental si mandor dan para bos mandor. Jika ndak perduli, meski sudah menerima laporan sejuta kali ya sami mawon. Atau, karena uang untuk memperbaiki yang tak ada.

Terlepas dari rasa sinisme itu, yang jelas sistem pengawasan jalan melalui sistem mandor jalan seperti terabaikan, kecuali di Jawa Timur.  Ketika daerah-daerah lain membekukan peran mandor jalan, propinsi ini tetapkonsisten menerapkan sistem ini melalui Balai-balai Pemeliharaan Jalan (BPJ), yang tersebar di 12 daerah mulai dari ujung timur hingga ujung sebelah barat Provinsi Jawa Timur. Setiap BPJ dibantu oleh Kantor Pembantu BPJ dan resor-resor pengamat jalan. Di tingkat lapangan, mereka inilah yang melakukan tugas dan fungsi mandor jalan. Pantas, jika ruas-ruas jalan di Jawa Timur rata-rata dalam kondisi mulus, di kota maupun di desa.

Memang, Jawa Tengah, dan Yogyakarta juga disebut-sebut tetap mempertahankan sistem mandor jalan sejak dekade 1950-an.  Tapi, itu diragukan. Jika pun benar adanya, tidak sedahsyat Jawa Timur.

Sejak empat tahun silam, sistem mandor jalan mulai dilirik kembali. Itu karena para pemangku kebijakan pernah merasakan keampuhan sistem ini di masa silam. Jambi, misalnya, telah mengaktifkan fungsi mandor jalan poros Bangko-Sungaipenuh sejak tahun 2005. Sementara di Bandar Lampung,  sistem ini  mulai digiatkan lagi sejak tahun 2007, meski baru sebatas untuk memonitor dan memperbaiki jalan propinsi yang membentang di sepuluh kabupaten dan kota, yang ada di propinsi ini.

***

Berkaca dari sejarah mandor Jalil di Belitung, Belanda merekrut mandor jalan dari penduduk lokal atau daerah yang dilintasi akses jalan yang mereka bangun. Di Jambi, cara Belanda itu kembali diterapkan. Sistem mandor jalan, yang diterapkan di propinsi ini pada prinsipnya memberdayakan kelompok-kelompok kerja yang dibentuk oleh Camat.

Memang, sejauh ini, tugas mereka hanya membersihkan ruas jalan selama sepanjang tahun. Setiap kelompok ditugasi mengawasi dan membersihkan jalan sepanjang 20 kilometer. Jika ada kerusakan, mereka hanya berkewajiban menyampaikan laporan. Setiap kelompok kerja diberi fasilitas kerja berupa satu unit sepeda motor dan satu unit mesin gergaji kayu untuk menunjang kelancaran pekerjaan. Setiap mandor mendapat upah senilai Rp 750.000 per bulan, sedangkan pekerja senilai Rp 450.000 per bulan. Dengan pendekatan yang hampir sama, Lampung juga menerapkan sistem serupa. Setiap mandor mendapat honor sebesar Rp 500 ribu per bulan.

Selain itu, para mandor ini juga mendapatkan berbagai fasilitas operasional, seperti motor dan peralatan perbaikan ringan. Target pertama, jalan-jalan tingkat propinsi di wilayah Lampung bebas lubang. Memang, ada tugas lain yang menjadi paket tanggung jawab mereka, seperti membersihkan bahu jalan dan menjaga kemiringan jalan; menggali saluran air sehingga air mengalir secara sempurna dan melakukan pemeliharaan bangunan pelengkap jalan lainnya seperti gorong-gorong.

***

Bagi sebagian kalangan, sistem mandor jalan dianggap hanya cocok diterapkan di daerah-daerah yang minim ahli jasa konstruksi dan minim peralatan berat. Kalangan pengusaha ini keberatan merasa sistem mandor jalan tidak perlu diterapkan di pulau Jawa dengan alasan pemborosan mengingat para kontraktor di Pulau Jawa sudah memiliki peralatan lengkap.

Bagaimana dengan daerah anda: Apakah sistem mandor jalan sudah diterapkan?

NB: tulisan ini saya sunting dari artikel yang pernah saya tulis untuk Majalah KIPRAH edisi 29/2008.

2 comments on “Mandor Jalan

  1. yah, seandainya di daerah saia ada mandor jalan, mungkin gak ada kali jalan yang perlu ditambal!

  2. Dan apakah status mandor tersebut akan jadi CPNS,karena di jawabarat, cirebon majalengka sudah berpuluh2 tahun mengabdi jadi mandor tidak ada harapan

Tinggalkan komentar